Di sebuah sudut kampung, di
Indonesia ini, saya tertegun, turut terisak bersama tangis seorang anak kelas 4
SD yang memiliki cita-cita amat sederhana “membelikan neneknya seekor kambing”.
Anak sekecil itu, telah larut dalam
kerasnya hidup. Perceraian kedua orang tuanya mengantarnya hidup dengan
ketimpangan ekonomi bersama seorang nenek yang telah renta, seorang kakek buyut
yang tak berdaya serta seorang kakak dengan usia hampir sebayanya yang telah
menguras peluh bekerja sebagai kuli bangunan, memutus rantai pendidikannya.
Anak itu laki-laki, ketika
diwawancarai, ia menangis dengan sesungguhnya tangis, bertutur tentang
keinginannya membelikan neneknya seekor kambing, agar mereka tak perlu lagi
bekerja upahan mengurus kambing tetangganya. Hari-harinya, ia habiskan sepulang
sekolah dengan meretas kebun liar mencari sayur-sayuran yang juga tumbuh liar,
(daun singkong dsb) untuk dijual. “bila tersisa, itu dijadikan lauk sama nenek”
katanya penuh haru.
Ada yang sakit disini, melihat
realitas itu. Kelak, akan kubangun panti jompo serta panti asuhan, menyedia
sebuah tempat agar para yang tua, dapat menghabiskan sisa hari-hari dengan
lebih banyak mengingatNYA, serta yang muda dapat menuntut diri menjadi pribadi
yang bermanfaat.
Sabtu kontemplatif,
Menjadi saksi sebuah acara tivi
tentang orang-orang pinggiran.
Saya tiba-tiba muak dengan
acara-acara infotainment, begitu glamour, hura-hura. Saya kira, semua orang
dapat hidup tanpa hiburan, namun yang pasti semua orang hidup tak kan mampu
bertahan tanpa makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar