Selasa, 23 September 2014

Dari bumi NTB untuk Palestina..

Konser amal bersama Tim Nasyid Izzatul Islam dan Opick, di Narmada Convention Hall (Ahad, 21 September 2014)
Ini kali keduaku mengikuti acara yang sama di tempat yang sama pula, terima kasih Ya Allah atas nikmat kesempatan ini.
Maklum, sekarang udah jadi orang pulau (Gili Air tercinta), jarang ketemu saudara-saudari di Mataram. Itu niat sambungan saja, utamanya adalah mengahadiri acara yang dapat membuat semakin menguatkan ingatan akan duka saudara muslim di Palestina.
Alhamdulillah dua niat dalam satu kesempatan itu disampaikan Allah, acaranya mengesankan, dan selesainya jadi panjang lebar, sekali melangkah, ketemu si ini, salaman, cupika-cupiki, tanya kabar n ngobrol dikit, melangkah lagi, ketemu lagi si itu. hehehe, terulang demikian hingga bila tak melihat jam yang sudah menunjukkan waktu zuhur, besar kemungkinan saya akan pulang di waktu asar.
Akhirnya dengan agak menunduk, pura-pura ga lihat siapa-siapa sy menerobos keluar gedung, ke parkiran, ambil motor dan... Hmmm, ketemu lagi si ini itu... hehehe.
Ujung-ujungnya sampai KLU udah mau asar. Setelah sholat zuhur di masjid kampus Unram sekalian nostalgia semasa jadi mahasiswa n aktifis dulu (duh, rinduuuuuu)...

Catatan tentang siswaku... belajar meringkas



Hari-hari menjadi guru, at SDN 1 Gili Indah
 
Salah satu pelajaran Bahasa Indonesia di kelas VI adalah meringkas wacana. Pekerjaan yang amat membosankan, pada umumnya. Membuat siswa harus membaca (di tengah budaya malas baca) u kemudian memahami lantas menulis ringkasannya (di tengah budaya malas nulis). Benar-benar harus sabar kalau mau mereka melakukannya dengan baik. Harus ada analogi yang dituturkan, mesti ada motivasi yang diselipkan.
Tahap pertama dari meringkas pasti membaca. Dan untuk membuat mereka mau membaca wacana yang akan diringkas (walaupun bahan bacaan itu tak sampai satu halaman penuh), saya menganalogikan kegiatan membaca seperti sebuah teko, cerek atau kocor bahasa mereka (bahasa sasak sy juga, hehehe) yang pasti berisi air/cairan. Bila cerek yang kosong dituang, apa yang keluar? Tanya saya. Kebanyakan mereka menjawab “tak ada bu”. Yah, tapi namanya anak-anak, ada juga yang menjawab usil “om jin yang keluar Bu” (usut diusut, ternyata di tivi lagi ada serial Aladin, pantas saja di kelasku ada yang mengaku jadi Aladin dan menunjuk teman perempuannya jadi Putri Yasmin, #efek anak baru puber)
Lantas saya melanjutkan, tentu saja tak ada yang keluar karena memang ceretnya kosong dan tak pernah diisi air. Demikian pula dengan otak kita yang mestinya diisi oleh ilmu, apa yang akan kalian tulis jika tak pernah membaca?
See.. mereka kemudian mulai membaca.
Ketika tahap selanjutnya, yaitu meringkas, saya motivasi mereka dengan sebuah skripsi tebal, lantas menunjukkan selembar abstraknya. Betapa skripsi yang ratusan halaman itu, secara mengagumkan dapat diringkas menjadi hanya selembar kertas yang berjudul ABSTRAK.
Wew, lumayan berhasil, sy mulai menjelaskan metode meringkas ala 5W1H.
1.      Membaca dengan cermat bahan yang akan diringkas.
2.      Membuat daftar pertanyaan meliputi 5W1H (what,who, where, when, why dan how)
3.      Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, cara menjawabnya adalah menulis kembali pertanyaan dengan terlebih dahulu tidak mengikutsertakan kata tanyanya kemudian melanjutkan dengan jawaban dari pertanyaan tersebut.
4.      Menyusun ulang jawaban-jawaban tersebut menjadi paragraph yang padu dengan disertai tambahan kata penghubung (bila diperlukan)



Senin, 22 September 2014

Namanya Ilalang



Imperata Cylindrica

Namanya ilalang…
Dalam hidup yang liar, ia meratu dengan kesembarangannya.
Menantang gersang, menyapa wajah tanah berbatu dengan pucuk tunasnya.
Namanya ilalang…
Dalam alam yang molek, ia menari dengan irama angin.
Berbicara pada badai, lantas merunduk murka pada hujan yang menimpanya.
Namanya ilalang…
Dalam dunia yang pura2, ia hijau selama hidupnya.
Namun dibalik rimbun, ia menyimpan misteri petaka para melata.
Ilalang…
Putih bunganya adalah cerita bumi tentang keadilan Pencipta pada warna.
Ia hidup dalam kelompoknya adalah petuah abadi tentang sendiri yang penuh bencana.
Gemerisik gesek daunnya adalah harmoni semesta.
Lalu…
Selamanya ia merasa bahagia, Tuhan ciptakan tanpa banyak mata yang suka padanya.

Dedicate to my Imperata Cylindrica. Alone with no admirer.

LEBIH BAIK DISINI, RUMAH KITA SENDIRI. INDONESIA.


Dari Argapura, Singgalang hingga Jayawijaya. Menghampar lembah, menjulang puncak, lalu pekat jurang curamnya.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri. Indonesia.
Dari daratan Jawa, Sumatera hingga Nusa Tenggara. Ada tertetes warna surga disana, dalam lambaian ilalang dan rayuan daun kelapa.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri. Indonesia.
Dari Baduy, Sasak hingga Sunda. Berbeda membuat mereka menyatu, memaknai cinta untuk bangsa.
Lebih baik disini, rumah kita sendiri. Indonesia.
Dari sambal terasi, tahu tempe dan ketela. Ragam rasanya adalah cara negeri ini memanjakan rakyatnya.
Air menghidupkan, tanah menumbuhkan, angin menaburkan, hutan menyejukkan, matahari bersinar sepanjang tahun, hujan menjurai mengisi lubuk-lubuk dedanau dan kelok sungai.
Indonesia…
Walaupun yang tertinggal kini hanya bayi-bayi yang dulu lemah kini kuat untuk mendurhaka, manusia-manusia yang dulu gagah tinggallah sejarah, dan bumi yang pernah hijau kini mengusam abu.
Tak usah ditanya, selalu lebih baik disini, rumah kita sendiri. Indonesia.

Minggu, 21 September 2014

Anak-anakku di SDN 1 Gili Indah, Gili Air.











Untuk Ilalang Club


Kita adalah sekumpulan orang-orang aneh.
Berlari ke kiri saat orang lain bergegas ke kanan.
Menjadi gila saat orang lain berusaha mempertahankan kewarasan.
Kadang kita bicara tentang banyak hal yang orang lain ingin lupakan.
Lalu kita terkagum-kagum pada sebatang rumput bernama ilalang.
Tuhan saja yang tahu, mengapa kita bertemu dalam dimensi ruang dan waktu yang sama.

To: Ney, Gwen.
            Too many reason for us to make apart. But, however, I proud of  our togetherness.

Sabtu Kontemplatif, haru menyeruak...



Di sebuah sudut kampung, di Indonesia ini, saya tertegun, turut terisak bersama tangis seorang anak kelas 4 SD yang memiliki cita-cita amat sederhana “membelikan neneknya seekor kambing”.
Anak sekecil itu, telah larut dalam kerasnya hidup. Perceraian kedua orang tuanya mengantarnya hidup dengan ketimpangan ekonomi bersama seorang nenek yang telah renta, seorang kakek buyut yang tak berdaya serta seorang kakak dengan usia hampir sebayanya yang telah menguras peluh bekerja sebagai kuli bangunan, memutus rantai pendidikannya.
Anak itu laki-laki, ketika diwawancarai, ia menangis dengan sesungguhnya tangis, bertutur tentang keinginannya membelikan neneknya seekor kambing, agar mereka tak perlu lagi bekerja upahan mengurus kambing tetangganya. Hari-harinya, ia habiskan sepulang sekolah dengan meretas kebun liar mencari sayur-sayuran yang juga tumbuh liar, (daun singkong dsb) untuk dijual. “bila tersisa, itu dijadikan lauk sama nenek” katanya penuh haru.
Ada yang sakit disini, melihat realitas itu. Kelak, akan kubangun panti jompo serta panti asuhan, menyedia sebuah tempat agar para yang tua, dapat menghabiskan sisa hari-hari dengan lebih banyak mengingatNYA, serta yang muda dapat menuntut diri menjadi pribadi yang bermanfaat.

Sabtu kontemplatif,
Menjadi saksi sebuah acara tivi tentang orang-orang pinggiran.
Saya tiba-tiba muak dengan acara-acara infotainment, begitu glamour, hura-hura. Saya kira, semua orang dapat hidup tanpa hiburan, namun yang pasti semua orang hidup tak kan mampu bertahan tanpa makan.

Hari-hari menjadi guru di SDN 1 Gili Indah



Ini semata-mata soal mental, habit, buruk.
Setiap hari, di tempat ini, dari pengeras suara, tersiar wejangan kepada murid “kita hidup di daerah pariwisata,setiap hari tamu dari berbagai negara mengunjungi sekolah kita, oleh sebab itu, jagalah kebersihan, buanglah sampah pada tempatnya”
Tapi sekali lagi, ini benar-benar soal mental kita, kami para guru yang bertutur demikian.
Seorang guru amat disiplin memberi contoh, membuang sampah pada tempatnya,  seorang guru yang lain, sambil ngobrol-ngobrol entah sadar atau tidak membuang plastic snack yang dimakannya. Murid melihat, diam, yang dia lihat lebih mudah ia pahami dari apa yang ia dengar. Apalagi murid-murid kelas rendah, konkrit.
Di lain waktu, saat guru-guru dan beberapa murid sedang berada di halaman sekolah, seorang guru menyobek plastic permen, sobekan yang kecil dibuang begitu saja, walaupun plastic tempat permennya dibuang ke tempat sampah setelah permen berada di mulut. Seorang guru mengingatkan “bu, sobekan plastiknya tuh”, guru yang makan permen menjawab “ah, kecil begitu kok”. Murid melihat, menalar, mencoba memahami. “berarti sampah yang kecil boleh dibuang begitu saja kan?”
Demikian pula ketika suatu kali, setelah makan-makan seorang guru membuang sampahnya yang banyak di sekitar halaman sekolah tempatnya duduk-duduk. Seorang guru menegur “bu, nanti anak-anak lihat ibu buang sampah sembarangan”, sang guru yang ditegur menjawab “nanti saya sapu bu”
See?
Ini sungguh-sungguh semata soal mental. Mental suka buang sampah. Tak peduli kita sedang sangat sibuk sehingga tak sadar, tak peduli pula samphnya sekecil apapun, apalagi mengatakan sampah itu nanti dapat disapu. Mental guru adalah mental teladan, begitu berkata ini, ia harus menjadi yg pertama menunaikkan apa yang dikatakannya.



Menunjukkan atribut-atribut ideologis, bagi saya adalah sesuatu yang perlu. Karena itu menunjukkan kebanggaan akan salah satu identitas paling asasi dari seorang manusia beragama.
Hal-hal demikian, dapat dilakukan melalui cara-cara yang tampak sederhana. Misalkan nama, di akun FB saya menemui beberapa orang yang menyelipkan sepotong nama CHE di awal atau tengah namanya, bahkan ketika membuka profilnya, banyak yg saya temukan tak mencantumkan status agama apa yang ia anut, atau minimal ada atribut-atribut yang menunjukkan ia seorang pemeluk agama, justru saya temukan status-status tulisan mereka cenderung provokatif, mulai meragu akan eksistensi tuhan, bahkan ada yang secara terang-terangan mengajak merombak kembali tafsir isi sebuah kitab suci. Bagi saya, ada yang tidak betul dengan realitas ini.
Nama CHE, selalu mengingatkan saya pada seorang tokoh sosialis Kuba “Ernesto CHE Guavara”. Dan paham sosialis, apa bedanya dengan komunis? Paham anti tuhan. Atau barangkali, tak semua orang langsung dapat mengasosiasi nama itu dengan tokoh bernama CHE Guavara tersebut? Namun seorang mahasiswa, yang banyak terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial politik dan dunia pergerakan, tentu tidak akan asing dengan nama tersebut.
Kenapa sebagai muslim, tidak berbangga dengan nama Ahmad, Muhammad atau minimal tidak menyertakan nama-nama yang ingatan kolektif orang lain dapat tergiring untuk mengingat musuh-musuh islam tersebut?
Renungan sore,
Sabtu kontemplatif di Gili Air.
20 September 2014
18.00