Minggu, 21 September 2014

Hari-hari menjadi guru…



Cerita dari Senin ke Senin..
1.      Menjadi Pembina upacara bendera, memang mungkin suatu yang biasa. Namun di sekolahku, beberapa guru merasa hal itu sebagai sebuah momok ngeri. Berbicara di depan ratusan pasang mata siswa serta dewan guru. Namun bila dipikir-pikir, mestinya itu menjadi alasan yang klise. Setiap hari semua guru bicara di depan puluhan pasang mata siswa di kelas masing-masing ketika mengajar, demikian pula interaksi dengan sesama guru yang sangat intens. Barangkali, ini hanya masalah pembiasaan. Namun, apakah akan demikian terus selanjutnya? Menghindar setiap hari Senin? Pura-pura telat ke sekolah, pura-pura sibuk mengatur barisan siswa, lantas dengan legowo mengata “silakan, bapak saja yang menggantikan saya jadi Pembina”. Hehehe, betapa ngerinya hari Senin bagi guru-guru yang seperti ini.
2.      Menjadi Pembina upacara, cukuplah, tidak perlu lagi diisi dengan mengomeli siswa. apalagi membandingkan dengan siswa-siswa atau sekolah lain. Seperti kita tak pernah suka dibanding-bandingkan, demikian pula mereka. Segala kesalahan mereka (siswa-red…sampai saat ini saya belum tau apa maksud red yang dalam kurung ini, hihihi) : MC yang melompat urutan upacara, pemimpin upacara yang lupa tanggal saat melapor ke Pembina, pembaca pembukaan UUD 1945 yang melanggar titik koma (lalu lintas kali ya dilanggar), tukang baca do’a yang seperti baca Koran, lebih-lebih lagi pengerek bendera yang tiga biji orang itu langkah dan gerak tangannya tak serentak, belum lagi grup paduan suara yang nyanyi seperti orang dikejar bobo (bukan majalah Bobo, itu si doggy maksudnya) sehingga bendera baru setengah tiang, tapi Indonesia Raya sudah berakhir (kalau ingat ketika adegan ini terjadi, saya suka membayangkan ulang seorang Pembina upacara yang melototin para pengerek, asli, pelototan itu ga mempan, beliau, Pembina ini melototin mata turun naik, maksudnya “tareeek lagi tu tali bendera, belum nyampe ujung!” Hehehe, dilematis banget, kalau pun bahasa isyarat pelototan itu keluar, maka pengeras suara di depannya siap untuk menyiarkan omelan kesalnya pada para pengerek yang tak bereaksi, dengan elegan para pengerek balik kanan lantas kembali ke tempat semula)
Bagaimanapun, semua kesalahan itu boleh jadi karena kami para guru yang tak betul dalam melatih mereka tiap hari Sabtu, kalaupun kami ngeles mengata “kami sudah capek-capek melatih, memang mereka aja tengal” nah, maklumi saja, namanya juga anak-anak. Dunia mereka adalah dunia suka-suka. Tapi sebenarnya, yang suka menyalahkan murid-murid itu hanya guru, dan yang suka menyalahkan guru-guru adalah para orang tua. Hehe, ini circle ala blog google.
3.      Setiap kali upacara bendera, coba perhatikan barisan siswa kelas 1. Ada dunia baru yang tercipta disana, rusuh, ribut. Kalau jenuh, beberapa dari mereka tiba-tiba akan lari keluar barisan, duduk menggelosor, ngobrol, saling sikut, saling dorong atau bahkan dengan manja merajuk pada guru minta diijinkan belanja. Barangkali, ini terjadi di sekolah manapun, karena dimanapun, usia anak SD kelas 1 itu kisarannya sama, 6-7 tahun. Jadi, karakter anak seusia mereka pun tak akan jauh beda. Walaupun ini mungkin terjadi di banyak sekolah, boleh jadi respon para guru menjadi berbeda. Suatu kali, seorang Pembina merasa sangat kacau ketika pidatonya tak disambut dengan simak yang baik oleh siswa kelas 1. Kontan, dari podium beliau berteriak, menenangkan siswa. Kalau saya jadi Pembina upacara saat itu, hal tersebut yang paling saya hindari, karena saya bisa jamin, hasilnya SIA-SIA. Hehehe, Yakinlah, membuat kelas 1 fokus mengikuti upacara itu, hampir bisa dikatakan sangat sulit, atau tak bisa barangkali.  Mau bagaimana lagi? Andai kita punya mesin waktu, cobalah tengok kelakuan kita dulu ketika mengikuti upacara seusia mereka. Mungkin kita akan malu memaksa mereka fokus, karena barangkali kelakuan kita jauh lebih menyebalkan Pembina upacara ketika itu.
Satu-satunya cara adalah berlaku cuek pada mereka, sambil memuji kelas yang lain karena lebih fokus mengikuti upacara daripada kelas 1.
See?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar